(Wafat 54
H)
Walaupun Saudah binti Zum’ah tidak terlalu populer dibandingkan dengan istri
Rasulullah lainnya, dia tetap termasuk wanita yang memiliki martabat yang mulia
dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Dia telah ikut berjihad
di jalan Allah dan termasuk wanita yang pertama kali hijrah ke Madinah.
Perjalanan hidupnya penuh dengan teladan yang baik, terutama bagi wanita-wanita
sesudahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. menikahinya bukan
semata-mata karena harta dan kecantikannya, karena memang dia tidak tergolong
wanita cantik dan kaya. Yang dilihat Rasulullab adalah semangat jihadnya di
jalan Allah, kecerdasan otaknya, perjalanan hidupnya yang senantiasa baik,
keimanan, serta keikhlasannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Dia adalah Seorang
Janda
Telah kita ketahui bahwa pada tahun-tahun kesedihan karena ditinggal wafat
oleh Abu Thalib dan Khadijah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. tengah
mengalami rnasa sulit. Kondisi seperti itu dimanfaatkan olah orang-orang Quraisy
untuk rnenyiksa Rasulullah dan kaurn muslimin. Pada tahun-tahun ini, terasa
cobaan dan kesedihan datang sangat besar dan silih berganti.
Ketika itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. berpikir untuk kembali ke
Tsaqif atau Thaif, dengan harapan agar orang-orang di Thaif memperoleh hidayah
untuk masuk Islam dan membantu beliau. Akan tetapi, masyarakat Tsaqif menolak
mentah-mentah kehadiran beliau, bahkan mereka memerintahkan anak-anak mereka
melempari beliau dengan batu, hingga kedua tumit beliau luka dan berdarah.
Walaupun begitu, beliau tetap sabar, bahkan tetap mendoakan mereka agar
memperoleh hidayah.
Dalam keadaan kesepian sesudah kematian Khadijah, terjadilah peristiwa Isra’
Mi’raj. Malaikat Jibril membawa Rasulullah ke Baitul Maqdis dengan kendaraan
Buraq, kemudian menuju langit ke tujuh, dan di sana beliau menyaksikan
tanda-tanda kebesaran Allah. Ketika kembali ke Mekah, beliau menuju Ka’bah dan
mengumpulkan orang-orang untuk mendengarkan kisah perjalanan beliau yang sangat
menakjubkan itu. Kaum musyrikin yang mendengar kisah itu tidak memercayainya,
bahkan mengolok-olok beliau, Bertambahlah hambatan dan rintangan yang harus
beliau hadapi. Dalam kondisi seperti itu, tampillah Saudah binti Zum’ah yang
ikut berjuang dan senantiasa mendukung Rasulullah, kemudian dia menjadi istri
Rasulullah yang kedua setelah Khadijah.
Terdapat beberapa kisah yang menyertai pernikahan Rasulullah dengan Saudah
binti Zum’ah. Tersebutlah Khaulah binti Hakirn, salah seorang mujahid wanita
yang pertama masuk Islam. Khaulah adalah istri Ustman bin Madh’um. Dia yang
dikenal sebagai wanita yang berpendirian kuat, berani, dan cerdas, sehingga dia
memiliki nilai tersendiri bagi Rasulullah.
Melalui kehalusan perasaan dan kelembutan fitrahnya, Khaulah sangat memahami
kondisi Rasulullah yang sangat membutuhkan pendamping, yang nantinya akan
menjaga dan mengawasi urusan beliau serta mengasuh Ummu Kultsum dan Fathimah
setelah Zainab dan Ruqayah menikah. Pada mulanya, Utsman bin Madh’um kurang
sepakat dengan pemikiran Khaulah, karena khawatir hal itu akan menambah beban
Rasulullah, namun dia tetap pada pendiriannya.
Kemudian Khaulah menemui Rasulullah dan bertanya langsung tentang orang yang
akan rnengurus rumah tangga beliau.
Dengan saksama, beliau mendengarkan seluruh pernyataan Khaulah karena baru
pertama kali ini ada orang yang memperhatikan masalah rumah tangganya dalam
kondisi beliau yang sangat sibuk dalam menyebarkan agama Allah.
Beliau melihat bahwa apa yang diungkapkan Khaulah mengandung kebenaran,
sehingga beliau pun bertanya, “Siapakah yang kau pilih untukku?” Dia menjawab,
“Jika engkau menginginkan seorang gadis, dia adalah Aisyah binti Abu Bakar, dan
jika yang engkau inginkan adalah seorang janda, dia adalah Saudah binti Zum’ah.”
Rasulullah mengingat nama Saudah binti Zum’ah, yang sejak keislamannya begitu
banyak memikul beban perjuangan menyebarkan Islam, sehingga pilihan beliau jatuh
pada Saudah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. memilih janda yang namanya
hanya dikenal oleh beberapa orang. Pernikahan beliau dengannya tidak didorong
oleh keinginan untuk memenuhi nafsu duniawi, tetapi lebih karena Rasulullah
yakin bahwa Saudah dapat ikut serta menjaga keluarga dan rumah tangga beliau
setelah Khadijah wafat.
Jika kita rajin mdnyimak beberapa catatan sejarah tentang kehidupan
Rasulullah yang berkaitan dengan Saudah binti Zum’ah, kita akan menemukan
beberapa keterangan tentang sosok Saudah. Saudah adalah seorang wanita yang
tinggi besar, berbadan gemuk, tidak cantik, juga tidak kaya. Dia adalah janda
yang ditinggal mati suaminya. Rasulullah memilihnya sebagai istri karena kadar
keimanannya yang kokoh. Dia termasuk wanita pertama yang masuk Islam dan sabar
menanggung kesulitan hidup.
Nasab dan Keislamannya
Saudah binti Zum’ah yang bernama lengkap Saudah binti Zum’ah bin Abdi Syamsin
bin Abdud dari Suku Quraisy Amiriyah.
Nasabnya ini bertemu dengan Rasulullah pada Luay bin Ghalib. Di antara
keluarganya, dia dikenal memiliki otak cemerlang dan berpandangan luas. Pertama
kali dia menikah dengan anak pamannya, Syukran bin Amr, dan menjadi istri yang
setia dan tulus. Ketika Rasulullah menyebarkan Islam dengan terang-terangan,
suaminya, Syukran, termasuk orang yang pertama kali menerima hidayah Allah. Dia
memeluk Islam bersama kelompok orang dari Bani Qais bin Abdu Syamsin.
Setelah berbai’at di hadapan Nabi, dia segera menemui istrinya, Saudah, dan
memberitakan tentang keislaman serta agama baru yang dianutnya. Kecemerlangan
pikiran dan hatinya menyebabkan Saudah cepat memahami ajaran Islam untuk
selanjutnya mengikuti suami menjadi seorang muslimah.
Hijrah ke Habbasyah
Keislaman Syukran, Saudah, dan beberapa orang yang mengikuti jejak mereka
berakibat cemoohan, penganiayaan, dan pengasingan dari keluarga terdekat mereka.
Karena itu, Syukran menemui Rasulullah beserta beberapa keluarganya yang sudah
memeluk Islam, seperti saudaranya (Saud dan Hatib), keponakannya (Abdullah bin
Sahil bin Amr), ditambah saudara kandung Saudah (Malik bin Zum’ah). Rasulullah
menasihati agar mereka tetap kokoh berpegang pada akidah dan menyarankan agar
mereka hijrah ke Habasyah, mengikuti saudara-saudara seiman yang telah terlebih
dahulu hijrah, seperti Utsman bin Affan dan istrinya, Ruqayah binti Muhammad.
Akhirnya, kaum muslimin memutuskan untuk hijrah. Di antara kaum muslimin yang
hijrah ke dua ke Habasyah, terdapat Saudah yang turut merasakan pedihnya
meninggalkan kampung halaman serta sulitnya menempuh perjalanan dan cuaca buruk
demi menegakkan agama yang diyakininya.
Di Habasyah mereka disambut dan diperlakukan baik oleh Raja Habasyah walaupun
keyakinan mereka berbeda, sehingga beberapa hari lamanya mereka menjadi tamu
raja. Akan tetapi, rasa rindu mereka dan keinginan untuk melihat wajah
Rasulullah mendera mereka. Sambil menunggu waktu yang tepat untuk kembali ke
Mekah, mereka mengisi waktu dengan mengenang kehangatan berkumpul dengan
Rasulullah dan saudara-saudara seiman di Mekah. Ketika mendengar keislaman Umar
bin Khaththab, mereka menyambut dengan suka cita. Betapa tidak, Umar bin
Khaththab adalah pemuka Quraisy yang disegani. Karena itu, mereka memutuskan
untuk kembali ke Mekah dengan harapan Umar dapat menjamin keselamatan mereka dan
gangguan kaum Quraisy. Di antara mereka yang ikut kembali adalah Syukran bin
Amr. Akan tetapi, dalam perjalanan, Syukran jatuh sakit karena kelaparan sejak
kakinya menginjak tanah Habasyah. Akhirnya dia meninggal di tengah perjalanan
menuju Mekah.
Betapa sedih perasaan Saudah binti Zum’ah ketika mendengar suaminya meninggal
dunia. Baru saja dia mengalarni betapa sedihnya meninggalkan kampung halaman,
sulitnya perjalanan ke Habasyah, cemoohan, dan penganiayaan orang-orang Quraisy,
sekarang dia harus merasakan sedihnya ditinggal suami. Dia merasa kehilangan
orang yang senantiasa bersamanya dalam jihad di jalan Allah.
Rahmat Allah
Saudah binti Zum’ah menanggung semua derita itu dengan kepasrahan dan
ketabahan, serta menyerahkan semuanya kepada Allah dengan senantiasa
mengharapkan keridhaan-Nya. Dia kembali ke Mekah sebagai satu-satunya janda,
dengan perkiraan bahwa keadaan kaum muslimin di Mekah sudah membaik setelah
beberapa pemuka Quraisy menyatakan memeluk Islam. Akan tetapi, temyata kezaliman
orang-orang Quraisy tetap merajalela. Dalam kondisi seperti itu, tidak ada
pilihan lain baginya selain kembali ke rumah ayahnya, Zum’ah bin Qais yang masih
memeluk agama nenek moyang.
Akan tetapi, Zum’ah bin Qais tetap menerima dan rnenghormati putrinya. Tidak
sedikit pun dia berusaha membujuk agar putrinya meninggalkan Islam dan kembali
menganut kepercayaan nenek moyang.
Ketika Khaulah binti Hakim berusaha mencarikan istri untuk Rasulullah, dia
menyebut nama Saudah. Dalam diri Saudah, Rasulullah tidak meihat kecantikannya,
tetapi lebih melihat bahwa Saudah adalah sosok wanita yang sabar, mujahidah yang
hijrah bersama kaum muslimin, dan mampu menjadi pemimpin di rumah ayahnya yang
masih musyrik. Karena itulah, Rasulullah tergerak menikahinya dan menjadikannya
sebagai istri yang akan meringankan beban hidupnya. Khaulah menemui Saudah dan
menyampaikan kabar gembira bahwa tidak semua wanita dianugerahi Allah menjadi
istri Rasulullah serta menjadi istri manusia yang paling mulia dan hamba
pilihan-Nya. Ketika bertemu dengan Saudah, Khaulah berteriak, “Apa gerangan
yang telah engkau perbuat sehingga Allah memberkahimu dengan nikmat yahg sebesar
ini? Rasulullah mengutusku untuk meminang engkau baginya.” Sungguh, hal itu
merupakan berita besar. Saudah tidak pernah memimpikan kehormatan sebesar itu,
terutama setelah orang-orang mencampakkannya karena kematian suaminya.
Rasulullah yang mulia benar-benar akan menjadikannya sebagai istri. Dengan
perasaan terharu dia menyetujui permintaan itu dan meminta Khaulah menemui
ayahnya. Setelah Zum’ah bin Qais mengetahui siapa yang akan meminang putrinya,
dan Saudah pun sudah setuju, lamaran itu langsung diterimanya, kemudian meminta
Rasulullah Muhammad datang ke rumahnya. Rasulullah memenuhi undangan tersebut
bersama Khaulah, dan perkawinan itu terlaksana dengan baik.
Berada di Rumah
Rasulullah
Saudah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah, dan di dalarnnya dia merasakan
kehormatan yang sangat besar sebagai wanita. Dia merawat Ummu Kultsum dan
Fathimah seperti merawat anaknya sendiri. Ummu Kultsum dan Fathimah pun
menghargai dan memperlakukan Saudah dengan baik.
Saudah memiliki kelembutan dan kesabaran yang dapat menghibur hati
Rasulullah, sekaligus memberi semangat. Dia tidak terlalu berharap dirinya dapat
sejajar dengan Khadijah di hati Rasulullah. Dia cukup puas dengan posisinya
sebagai istri Rasulullah dan Ummul-Mukminin. Kelembutan dan kemanisan tutur
katanya dapat menggantikan wajahnya yang tidak begitu cantik, tubuhnya yang
gemuk, dan umurnya yang sudah tua. Apa pun yang dia lakukan semata-mata untuk
menghilangkan kesedihan Rasulullah. Sewaktu-waktu dia meriwayatkan hadits-hadits
beliau untuk menunjukkan suka citanya di hadapan Nabi.
Beberapa bulan lamanya Saudah berada di tengahtengah keluarga Rasulullah.
Keakraban dan keharmonisan mulai terjalin antara dirinya dan Rasulullah. Dia
tidak pernah melakukan apa pun yang dapat menyakitkan Rasulullah. Akan tetapi,
pada dasarnya, dia belum mampu mengisi kekosongan hati Rasulullah, walaupun dia
telah memperoleh limpahan kasih dan beliau, sehingga beberapa saat kemudian
turun wahyu Allah yang memerintahkan Rasulullah menikahi Aisyah binti Abu Bakar
yang masih sangat belia. Rasulullah menemui Abu Bakar dan menjelaskan makna
wahyu Allah kepadanya. Dengan kerelaan hati, Abu Bakar menerima putrinya menikah
dengan Rasulullah, dan disuruhnya Aisyah menemui beliau. Setelah melihat Aisyah,
beliau mengumumkan pinangan terhadap Aisyah.
Lantas, sikap apa yang dilakukan Saudah ketika mengetahui pertunangan
tersebut Dia rela dan tidak sedikit pun memiliki perasaan cemburu. Dia merelakan
madunya berada di tengah keluarga Rasulullah. Dia merasa cukup bangga menyandang
gelar Ummul-Mukminin, dapat menyayangi Rasulullah, dan dapat meyakini ajarannya,
sehingga dia tidak terpengaruh oleh kepentingan duniawi.
Hijrahnya ke Madinah
Pertama kali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. hijrah ke Madinah tanpa
keluarga. Setelah menetap di sebuah rumah, beliau mengutus seseorang membawa
keluarganya, termasuk Saudah binti Zum’ah. Bersama Ummu Kultsum dan Fathimah,
Saudah menuju Madinah, dan itu merupakan hijrahnya yang kedua setelah ke
Habasyah. Bedanya, sekarang ini dia hijrah menuju negeri muslim yang
masyarakatnya sudah berbai’at setia kepada Rasulullah.
Setelah masjid Nabawi di Yatsrib selesai dibangun, dibangunlah rumah
Rasulullah di samping masjid tersebut. Di rumah itulah Saudah dan putri-putri
Nabi tinggal, hingga Ummu Kultsum dan Fathimah menyayangi Saudah seperti kepada
ibu kandung sendiri. Setelah masyarakat Is1am di Yatsrib terbentuk dan sarana
ibadah selesai dibangun, Abu Bakar mengingatkan Rasulullah agar segera menikahi
putrinya, “Bukankah engkau hendak membangun keluargamu, ya Rasul?”
Ketika itu kehidupan Rasulullah tersibukkan oleh dakwah dan jihad di jalan
Allah, sehingga kepentingan pribadinya tidak sempat terpikirkan. Ketika Abu
Bakar mengingatkannya, barulah beliau sadar dan segera menikahi Aisyah. Kemudian
beliau membangun kamar untuk Aisyah yang bersebelahan dengan kamar Saudah.
Sikap Hidupnya
Sejarah banyak mencatat sikap Saudah terhadap Aisyah binti Abu Bakar.
Wajahnya senantiasa ceria dan tutur katanya selalu lembut, bahkan dia sering
membantu menyelesaikan urusan-urusan Aisyah, sehingga Aisyah sangat mencintai
Saudah. Begitulah kecintaannya kepada Rasulullah sangat melekat erat di dasar
hati. Segala sesuatunya dia niatkan untuk memperoleh kerelaan Rasulullah melalui
pengabdian yang tulus terhadap keluarga beliau, tanpa keluh kesah. Baginya,
kenikmatan yang paling besar di dunia ini adalah melihat Rasulullah senang dan
tertawa. Aisyah berkata, “Tidak ada wanita yang lebih aku cintai untuk berkumpul
bersamanya selain Sàudah binti Zum’ah, karena dia memiliki keistimewaan yang
tidak dimiiki wanita lain.” Itu merupakan pengakuan Aisyah, wanita yang
pikirannya cerdas dan senantiasa jernih, yang selalu ingin bersama Saudah dalam
jihad, keyakinan, kesabaran, dan keteguhannya. Saudah merelakan malam-malam
gilirannya untuk Aisyah semata-mata untuk memperoleh keridhaan Rasulullah.
Aisyah mengisahkan, ketika usia Saudah semakin uzur dan Rasulullah ingin
menceraikannya, Saudah berkata, “Aku mohon jangan ceraikan diriku. Aku ingin
selalu berkumpul dengan istri-istrimu. Aku rela menyerahkan malam-malamku untuk
Aisyah. Aku sudah tidak menginginkan lagi apa pun yang biasa diinginkan kaum
wanita.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. pun mengurungkan niatnya.
Sebenarnya Rasulullah ingin menceraikan Saudah dengan baik-baik agar Saudah
tidak bermasalah dengan istri-istri beliau yang lainnya. Akan tetapi, Saudah
menginginkan Rasulullah tetap mengikatnya hingga akhir hayatnya agar dia dapat
berkumpul dengan istri-istri Rasulullah. Alasan itulah yang menyebabkan
Rasulullah tetap mempertahankan pernikahannya dengan Saudah.
Saudah mendampingi Rasulullah dalam Perang Khaibar. Biasanya, sebelum
berangkat berperang, Rasulullah mengundi dahulu istri yang akan menyertai
beliau. Dalam Perang Khaibar, undian jatuh pada diri Saudah, dan kali ini
Rasulullah disertai pendamping yang sabar. Dalam perang ini banyak sekali
kesulitan yang dialami Saudah, karena banyak juga kaum muslimin yang syahid
sebelum Allah memberikan kemenangan kepada mereka. Dalam kemenangannya, kaum
muslimin memperoleh banyak rampasan perang yang belum pernah mereka alami pada
peperangan lainnya. Saudah pun mendapatkan bagian rampasan perang ini. Pada
peperangan ini pula Rasulullah menikahi Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab.
Mendengar hal itu pun Saudah tetap rela dan menerima kehadiran Shafiyyah karena
hatinya bersih dari sifat iri dan cemburu.
Saudah menunaikan haji wada’ bersama istri-istri Rasul lainnya. Setelah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. meninggal, Saudah tidak pernah lagi
menunaikan ibadah haji karena khawatir melanggar ketentuan beliau. Beberapa saat
setelah haji wada’, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalm. sakit keras. Beliau
meminta persetujuan istri-istri beliau yang lain untuk tinggal di rumah Aisyah.
Ketika Nabi sakit, Saudah tidak pernah putus-putusnya menjenguk beliau dan
membantu Aisyah sampai beliau wafat. Setelah beliau wafat, dia memutuskan untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Harta bagiannya dan BaitulMal
sebagian besar dia salurkan di jalan Allah dengan semata-mata mengharapkan
keridhaan-Nya.
Dia tidak pemah meninggalkan kamarnya kecuali untuk kebutuhan yang mendesak.
Pada saat-saat seperti itu Abu Bakar selalu menjenguknya karena dia tahu bahwa
Saudah sangat mencintai putrinya.
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, Saudah tetap menyendiri untuk
beribadah hingga ajal menjemputnya. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa dia
meninggal pada tahun ke-19 Hijrah, sementara itu ada juga riwayat yang
mengatakan bahwa dia meninggal pada tahun ke-54 hijrah. Yang lebih mendekari
kebenaran adalah pendapat pertama, karena pada masa Rasulullah pun Saudah sudah
termasuk tua.
Sifat dan Keutamaannya
Hal istimewa yang dimiliki Saudah adalah kekuatannya dan keteguhannya dalam
menanggung derita, seperti pengusiran, penganiayian, dan bentuk kezaliman
lainnya, baik yang datangnya dari kaum Quraisy maupun dan keluarganya
sendiri.
Hal seperti itu tidak mudah dia lakukan, karena perjalanan yang harus
ditempuhnya itu sangat sulit serta perasaan yang berat ketika harus meninggalkan
keluarga dan kampung halaman.
Sifat mulia yang juga menonjol darinya adalah kesabaran dan keridhaannya
menerima takdir Allah ketika suaminya meninggal, harus kembali ke rumah orang
tua yang masih musyrik, hingga Rasulullah memilihnya menjadi istri. Selama
berada di tengah-tengah Rasulullah, keimanan dan ketakwaannya bertambah. Dia pun
bertambah rajin beribadah.
Jelasnya, kadar keimanannya berada di atas manusia rata-rata. Di dalam
hatinya tidak pernah ada perasaan cemburu terhadap istri-istri Rasulullah
lainnya.
Saudah pun dikenal dengan kemurahan hatinya dan suka bersedekah. Pada
sebagian riwayat dikatakan bahwa Saudah paling gemar bersedekah di jalan Allah,
baik ketika Rasulullah masih hidup maupun pada masa berikutnya, yaitu pada masa
kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.
Pembawaan yang ceria dan menyenangkan dia curahkan untuk menghibur
Rasulullah. Karakter seperti itu merupakan teladan yang baik bagi setiap istri
hingga saat ini. Semoga rahmat Allah senantiasa menyertai Sayyidah Saudah binti
Zum’ah dan semoga Allah memberinya tempat yang layak di sisi-Nya. Amin.
Tambahan kisah
lainnya
Dia adalah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam sepeninggal khadijah, kemudian menjadi istri satu-satunya bagi
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai Rasulullah Shalllallahu ‘Alaihi
wa Sallam masuk berumah tangga dengan Aisyah.
Sebelum menikah dengan Rasulullloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Saudah
telah menikah dengan Sakran bin Amr Al-Amiry, mereka berdua masuk islam dan
kemudian berhijrah ke Habasyah bersama dengan rombongan shahabat yang lain.
Ketika Sakran dan istrinya Saudah tiba di Habasyah maka Sakran jatuh sakit
dan meninggal. Maka jadilah Saudah menjanda. Kemudian datanglah Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meminang saudah dan diterima oleh saudah dan
menikahlah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Saudah pada bulan
Ramadhan.
Saudah adalah tipe seorang istri yang menyenangkan suaminya dengan kesegaran
candanya, sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Ibrahim an-Nakha’i
bahwasannya saudah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
Wahai Rasulullah, tadi malam aku shalat di belakangmu, ketika ruku’ punggungmu
menyentuh hidungmu dengan keras, maka aku pegang hidungku karena aku takut
keluar darah, Maka tertawalah Rasulullah. Ibrahim berkata: Saudah biasa membuat
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tertawa dengan candanya.
(Thabaqoh Kubra 8/54).
Ketika Saudah sudah tua Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berniat
hendak mencerainya, maka saudah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Wahai Rasulullah janganlah engkau menceraikanku, bukanlah aku masih
menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan dalam keadaan
menjadi istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari
giliranku kepada Aisyah. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
mengabulkan permohonannya dan tetap menjadikannya menjadi salah satu dari
seorang istrinya sampai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meninggal.
Dalam hal ini turunlah ayat Al-Qur’an, yang artinya: “Dan jika seorang
wanita kuatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik..” (QS. An-Nisa’:128).
(Sunan Tirmidzi 8/320 dengan sanad yang dihasankan Ibnu Hajar
dalam Al-Ishabah 7/720).
Aisyah berkata: Saudah meminta izin kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam pada waktu malam Muzdalifah untuk berangkat ke Mina sebelum
berdesak-desakkannya manusia, adalah dia perempuan yang berat jika berjalan,
sungguh kalau aku meminta izin kepadanya sungguh lebih aku sukai daripada orang
yang dilapangkan. (Thabaqah Qubra 8/54).
Aisyah berkata: Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang paling aku
ingin sekali menjadi dia daripada Saudah binti Zam’ah, ketika dia tua dia
berikan gilirannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada Aisyah.
(Shahih Muslim 2/1085).
Di antara keutamaan Saudah adalah ketaatan dan kesetiaannya yang sangat
kepada Rasulullah. Ketika haji wada’ Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda kepada para istri-istrinya: Ini adalah saat haji bagi kalian
kemudian setelah ini hendaknya kalian menahan diri di rumah-rumah kalian, maka
sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, Saudah selalu di rumahnya
dan tidak berangkat haji lagi sampai dia meninggal. (Sunan Abu Dawud
2/140).
Aisyah berkata: Sesudah turun ayat tentang hijab, keluarlah saudah di waktu
malam untuk menunaikan hajatnya, dia adalah wanita yang perawakannya tinggi
besar sehingga mudah sekali dibedakan dari wanita lainnya pada saat itu. Saat
itu umar melihatnya dan berkata :wahai saudah demi Allah kami tetap bisa
mengenalimu, maka lihatlah bagaimana engkau keluar, maka Saudah segera kembali
dan menuju kepada Rasulullah yang pada waktu itu di rumah Aisyah, ketika itu
Rasulullah sedang makan malam, di tangannya ada sepotong daging, maka masuklah
Saudah seraya berkata kepadanya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku keluar
untuk sebagai keperluanku dalam keadaan berhijab tetapi Umar mengatakan ini dan
itu, maka saat itu turunlah wahyu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam dan kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi
kalian para wanita untuk keluar menunaikan hajatmu.. (Shahih Bukhari dan
Muslim).
Saudah terkenal juga dengan kezuhudannya, ketika umar mengirin kepadanya satu
wadah berisi dirham, ketika sampai kepadanya maka dibagi-bagikannya
(Thabaqah kubra 8/56 dan dishahihkan sanadnya oleh Ibnu Hajar
dalam al-Ishobah 7/721).
Saudah termasuk deretan istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
yang menjaga dan menyamapaikan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Hadits-haditsnya diriwayatkan oleh para imam yang terkemuka seperti Imam
Ahmad, Imam Bukhari, Abu Dawud dan Nasa’i.
Saudah meninggal di akhir kekhalifahan Umar di Madinah pada tahun 54
Hijriyah. Sebelum dia meninggal dia mewariskan rumahnya kepada Aisyah. Semoga
Allah meridhainya dan membalasnya dengan kebaikan yang melimpah.
- Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh.
Mariyah Al Qibtiyah
0 comments:
Post a Comment